Sabtu, 03 Desember 2011

Sebaris Nyanyian dari Ibu

Ibuku malang ibuku tersayang…

Tatap matamu Satu,

 seakan kasih sebening kaca.

Masa-masa duka,

Kau bangkitkan gaya jua

Dalam mengarungI gelombang samudra hidup ini.

Nasib tiada pernah kau ratapi

Kau terima dengan tabah

Kehidupan ini kau anggap bagai menggarap sawah

Dengan keringat sendiri kau tanamkan rasa harga diri.





Nyanyian itu tak akan pernah terlupakan olehku. Nyanyian yang mengingatkan aku akan ibu yang telah melahirkan aku dan membesarkanku hingga aku menjadi seperti ini. Aku sangat bersyukur karena aku mempunyai seorang ibu yang berhati mulia, yang setiap malam selalu mengantar aku tidur sambil menyanyikan lagu itu, menasehati aku, memberikan aku pujian dan membuat aku bangga padanya karena ketabahan hatinya. Meskipun sering kali aku membuatnya kecewa tapi ibu tak pernah sedikitpun membesarkanya. Dia tahu bagaimana yang seharusnya dia lakukan untuk memberiku semangat ketika aku merasa terpuruk, patah hati dan hilang kendali. Ibu adalah teman yang selalu mengisi hariku dan tempat berlabuh dimana semua kekesalan ku terobati. Ibu, aku rindu padamu...kapan kau akan menyanyikan lagu itu lagi? Kapan kau akan menjaga aku ketika aku tengah sekarat, dikala tak mampu untuk menyuap makanan. Kaulah penolongku ibu. Aku rindu semua itu. Biar sedewasa apupun diriku, jika berada di dekapmu aku merasa diriku seperti sepuluh tahun yang lalu. Merengek, manja dan selalu ceroboh.

Akhir-akhir ini, Aku tahu kau merasa  terkekang dengan sikap ayah, merasa dihianati, merasa tak dihargai. Aku tahu kau sangat prustasi. Sering kali dalam keluarga kita terjadi percecokan dan semua kesalahan selalu dilimpahkan padamu. Kau menerimanya dengan lapang meskipun kau tahu sendiri kalau itu bukan kesalahmu. Ayah tak tahu apa-apa tentang kasih sayang yang kau berikan kepada kami. Dia hanya bisa menuntut dan menuntut agar kita menuruti semua kemauannya dan jika tidak, kitalah yang dianggap tak tahu berterima kasih atas nafkahnya. Kau tak pernah menyadarinya ibu, sehabis kau dan ayah bertengkar, aku tak pernah absen mengintipmu yang sedang menangis termangut-mangut dan kau sesekali menyalahkan dirimu sendiri. Ketika aku mulai terhanyut oleh tangisanmu, tanpa aku menyadari air mataku ikut menetes. Setitik, dua titik hingga mataku sembab.

Tak berakhir di situ. Semua orang mengejekmu, menghinamu karena kau dianggap tak berhasil dalam mengurus keluarga, karena kau disebut-sebut sebagai wanita jalang dan materialistis. Padahal mereka tidak tahu apa-apa. Mereka hanya pandai membuat masalah baru tanpa mengintropeksi diri mereka terlebih dahulu. Aku jadi geram mendengar kata-kata mereka. Kalau saja mereka bukan keluarga dekat kita, ingin rasanya aku menghantam dan menjahit mulut mereka agar berhenti membuat gosip yang tak sedap mengenaimu. Bukanya aku tak berani membelamu, hanya saja mereka terlalu tua, dan bukankah ibu pernah menasehatiku, ”kalau ada orang yang berbuat nggak baik terhadap kita, kita harus diamkan karena karma masih berlaku di muka bumi ini Ka.” dan aku sangat, sangat menghargai nasehatmu itu.

Itu bukan sekali, dua kali kau mendapat perlakuan tidak baik dari mereka. Mereka memang nggak punya perasaan Bu, dan yang terakhir kau di fitnah berselingkuh hingga terjadi percecokan yang paling hebat dari yang sebelumnya. Sebegitu tak tahannya dirimu atas ketidakadilan tersebut, kau terpaksa pergi meninggalkan aku dan Deddy. Kau pergi tepat pada saat aku terjaga oleh mimpi meskipun tanpa nyanyian itu. Kau pergi pada tanggal 17 januari 2010, pukul empat ketika fajar belum tampak dari wajah bumi. Kau pergi dengan membawa luka serta kesedihanmu. Padahal tujuh hari sebelumnya, kita baru saja melangsungkan pesta ulang tahunmu yang ke-38.

Aku bingung mencarimu ibu. Aku mencoba untuk menghubungi kerabat dekat, kerabat jauh bahkan temanmu. Bertanya dimana kini kau berada, tapi mereka sama sekali tak mengetahuinya dan balik menanyaiku. Aku menangis ibu, dan kau tak tahu seberapa besar kekawatiranku dan Deddy yang begitu panik mencarimu kemana-mana. Seakan-akan kami berdua baru saja kehilangan jiwa kami, aku merasa tubuhku kosong, nafasku terasa berat. Berhari-hari aku mengingat dan memikirkan keadaanmu. Aku takut kalau sakit yang kau derita kambuh lagi karena kau tak akan mampu melangkah  jika sakit itu kambuh. Aku takut jika aku tak bisa menemuimu lagi dan mendengarkanmu menyanyikan lagu itu untukku.

Bu saat itu tak ada lagi sandaran buat aku untuk bercerita. Tak ada lagi orang yang bisa aku percaya. Ayah terlalu sibuk dengan masa dudanya, adik juga, mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Akulah kini yang bertanggung jawab, mengerjakan segala sesuatu di rumah. Ibu, sekarang  aku tak bisa menikmati masa remajaku, itu semua karena tanggung jawabku yang tak bisa aku tinggalkan. Kerap kali aku jadi stres karena aku harus membagi waktuku antara kuliah dengan kerjaan. Aku juga tak pernah dihargai oleh mereka. Aku selalu saja dianggap tak bisa membuat mereka bangga, padahal mereka tahu sendiri bagaimana letihnya aku karena memikul beban ini sendirian.

Ibu andai saja ada dua pilihan, satu-satunya yang kupilih adalah ikut bersamamu, andai saja wanita Bali bebas memilih adat, aku yang pertama kali yang akan ikut adatmu, asalkan aku tetap berada di dekatmu, mendengarkan nyanyianmu, itu sudah membuatku merasa nyaman.

Sekali lagi aku ingin mendengarkan nyangiann itu ibu. Jika kita dipertemukan kembali, aku ingin kau nyanyikan lagu itu lagi untukku seperti sepuluh tahun yang lalu di saat aku masih merengek-rengek dan selalu minta  kau rangkul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar